Thursday, August 14, 2014

Aku Mau Pulang, Ibu...

Matanya memerah. Air matanya berlinang. Suaranya parau memohon kepadaku untuk diijinkan pulang...

Ini bulan ke-2 Alif menjalani pendidikan di pesantren. Belum terlalu lama. Apalagi dipotong hampir 3 minggu libur Lebaran kemarin. Masih terhitung masa penyesuaian diri. Kami orang tua masih diperbolehkan berkunjung kapan saja menjenguk para santri. Masih melalui proses yang berat, buat si anak, juga buat ayah ibunya.

Membesarkan anak sekarang ini memang penuh dengan tantangan baru, yang tentu saja berbeda bila dibandingkan saat aku masih seumur dia sekarang, 12,5 tahun. Teknologi yang menguasai kehidupan saat ini sangat mempengaruhi perilaku anak. Ah... jangankan anak, harus kuakui, aku pun sering terlena dengan segala macam gadget ini. Hehe. Sulit menghindarkan diri dari "mainan" teknologi ini. "Memang ini sudah zamannya.", kata suamiku.

Alif, seperti anak lelaki seusianya, sepertinya mulai kecanduan bermain games di komputer. Malah belakangan mulai mengenali game online. Sesuatu yang sangat aku kuatirkan. Memang sih, kami sengaja menyediakan perlengkapan komputer dengan jaringan internet di rumah. Alasannya agar bisa diawasi. Karena kalaupun tidak disediakan di rumah, pasti akhirnya dia akan berusaha mencari di luar rumah. Warnet misalnya. Seperti yang terjadi dilingkungan sekelilingku. Semakin mengkhawatirkan :(

Games zaman sekarang juga mulai banyak yang menjurus ke arah sexualitas. Berdasarkan apa yang aku baca, gambar2 wanita seksi muncul begitu saja tanpa diminta di sela-sela permainan. Itu juga yang pernah aku pergoki di layar permainannya. Alif sudah akil baliq, setelah dia disunat 2 tahun yang lalu. Pasti dia sudah tertarik bila melihat hal2 sedemikian. Memang sudah kodratnya. Tetapi... jiwanya belum siap untuk itu. :( . Ini murni kekuatiran seorang ibu.

Pulang sekolah, yang dicari langsung komputernya. Apalagi saat libur, week-end, dari melek pagi hari sampai malam pun sanggup dia duduk di depan komputer. Saat diingatkan untuk makan ataupun sholat, sering menjawab dengan perkataan kasar dan berintonasi keras. Iya, dia merasa terganggu saat sedang konsentrasi menyelesaikan permainannya. Duh, kadang aku terkejut mendengar dan melihat reaksinya. Apalagi dikuti dengan suaranya yang mulai berat. Anakku yang dulu kecil sekarang sudah besar. Rasanya terlalu cepat dia besar... Rasanya pula, kami mulai tak berdaya melawan kemauannya yang satu ini. Hhhhh....

Selalu berada di dalam rumah, tidak menyukai aktifitas luar ruang juga mulai mengkuatirkan kami. Menolak bergaul dengan teman sekelilingnya pun membuatku merasa heran dengan perkembangannya ini. Takut dia menjadi orang yang tidak bisa bersosialisasi.

Inilah sebagian alasan mengapa kami memutuskan untuk memasukannya ke pesantren. Bukan... bukan karena perilakunya dapat digolongkan ke anak "nakal". Bukan. Alif masih berperilaku wajar. Kami cuma berharap Alif berubah perilakunya ke arah yang lebih baik.

Permulaannya pasti berat. Si anak tunggal yang biasa dimanja di rumah, sendirian, tak biasa berbagi, tiba2 harus sekamar dengan 9 anak lainnya. Berkenalan, menyesuaikan diri dan belajar memahami karakter teman2 baru sudah semacam shock terapy buatnya. Belum lagi masalah antri kamar mandi, makanan di pondokan, merapikan almari pakaian, mengatur baju dan buku, perlu dibiasakan untuk menyelesaikan sendiri. Termasuk gaya belajar dibawah pengajaran di sekolah baru.

Masih untung kata beberapa kenalan Alif mau menurut dimasukkan pesantren. Sebagian dari anak mereka bahkan menolak ide ini sebelum mencobanya. Ya memang, semua dibarengi dengan bimbingan dan pengarahan kami sebagai orang tuanya yang memberikan gambaran dan alasan kenapa dia harus sekolah di sana.

Alif masih bolak balik mempertanyakannya lagi dan lagi kenapa dia harus bertahan di sana. Berapa lama dia harus berada di sana. Semua tentu saja diperparah dengan keadaan lingkungan dimana hampir semua anak kelas satu mempunyai masalah yang sama. Tidak betah. Bahkan sudah ada beberapa anak yang mengundurkan diri, pulang setelah liburan kemarin ini.

Ini memang tahap kehidupan yang harus dilalui bersama. Tantangan tidak hanya untuk Alif, tapi buat kami orang tuanya. Berat merasakan perpisahan dengan anak satu-satunya. Tak ada yang menghibur lagi di rumah. Tapi tujuan untuk membuatnya siap menghadapi kehidupan nanti didepannya, lebih mandiri, membuat kami berusaha kuat untuk menjalaninya.

Seperti malam ini, aku merasakan rindu yang amat sangat kepadanya. Biasanya aku berusaha melupakan, karena biasanya ikatan batin ibu dan anak akan terjadi kontak. Dia pasti merasakan hal yang sama. Aku tidak ingin membuatnya semakin lemah, disaat banyak yang harus dilakukannya di dalam pesantren.

Kadang aku merasa kasihan padanya. Kegiatan memang dibuat padat agar tidak ada waktu luang yang ujung2nya melamun dan akhirnya membuat anak tidak betah. Kegiatan setiap hari dimulai sangat awal. Pukul 4 pagi sudah dibangunkan untuk persiapan sholat tahajud dan kemudian sholat Subuh berjamaah. Lalu bersiap untuk sarapan dan sekolah. Sekolah dimulai pukul 6.30 pagi dan berakhir pukul 2.10 siang setiap harinya, kecuali Jumat kegiatan sekolah libur. Diselingi istirahat setengah jam 10 pagi dan sholat Dhuhur pada pukul 12 siang lalu makan siang.

Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan ekstra kurikuler, break untuk sholat Ashar berjamaah, kegiatan ekstra kurikuler dilanjutkan sore sampai sebelum waktunya sholat Magrib berjamaah. Makan malam dan sholat berjamaah Isya waktunya sangat singkat. Setelah itu belajar bersama ataupun melanjutkan kegiatan ekstra kurikuler. Kegiatan diakhiri pukul 10 malam. Cukup melelahkan. Apalagi buat Alif yang aku biasakan tidur siang mengingat riwayat kesehatannya yang cukup sering sakit.

Peringatan tiap waktu ditentukan dengan bunyi bel dan kentongan. Bila terlambat ada hukuman. Misalnya dipotong pitak rambutnya. Alif pernah tertidur saat harus sholat. Kakak kelas membangunkan dengan sorbannya. Dia sangat kaget saat itu, dan langsung sakit hati. Alif anak yang sensitive. Itu peringatan keras untuknya. Karena itu, 20 menit sebelum azan dia selalu berusaha sudah berada di dalam masjid.

Kadang lucu melihat reaksi anak2 sangat mendengar bel. Wajah2 mereka berubah panik, bergerak cepat, bersiap2 untuk sholat. Tapi disisi lain, aku mengkuatirkan kejiwaan mereka yang mungkin tertekan . Ahh, mungkin karena belum terbiasa saja, aku sering menghibur diri. Toh ini mengajarkan mereka untuk disiplin.

Alif mengeluhkan hal ini. Tidur tak cukup, katanya. "Baru mau mulai mimpi sudah harus bangun." :) Keluhan lain tentu saja tentang alat elektronik. Tidak ada yang dijinkan termasuk HP, radio, TV apalagi internet. "Cuma lampu, kipas angin dan setrika doang yang dibolehin.", cerita Alif ke adik iparku. Hehehe.

Alif memang mempunyai ketertarikan kepada berita. Kuperhatikan sejak kecil memang demikian. Dulu sering tiba2 dia menelponku di kantor mengabarkan kejadian heboh hari itu yang dilihatnya di TV. Pesawat jatuh, gunung meletus, gempa, peperangan adalah hal2 yang pernah dilaporkannya saat itu.

Dia merasa semua tercabik, terambil darinya. "Jadi kurang wawasan.", katanya.

Yah memang itu salah satu resiko berada di pondokan.

Metode pelajaran yang baru pun membuatnya sedikit tertekan. Dalam 5 jam pelajaran, 5 mata pelajaran pula yang harus dipelajari. Padat. Belum masalah bahasa baru yang dipelajari, bahasa Arab. Tapi mudah2an Alif memiliki talenta dibidang bahasa sehingga dia tidak terlalu sulit mempelajarinya.

Masalah sosialisasi merupakan masalah yang lebih berat untuk Alif, menurut aku dan suamiku. Dia tidak tertarik berada diantara teman2 barunya. Sulit menyesuaikan diri. Biarlah... biar dia belajar untuk berubah.

Ini pula yang membuatnya masih terus meminta kami menjenguknya setiap hari. Menemaninya karena dia tak mau dekat dengan teman2nya. :(

Tak apa ya Nak... namanya juga masih baru...

Ngobrol dengan orang tua murid yang lebih dulu masuk, proses penyesuaian diri bisa sampai 3 sampai 6 bulan. Bismillah... semoga Alif bisa melaluinya dengan baik.

Ada beberapa perubahan positif yang tampak belakangan ini. Alif mulai menghargai apa arti orang tua. Dia mengaku selalu mendoakan kami sekarang. Alhamdulillah. Saat pamit pulang, kami dilepasnya dengan ciuman panjang yang mustahil dilakukannya sebelum ini. Hehehe...

Kami yakin ini adalah saat yang tepat Alif di pesantren. Saat memasuki akil baliq. Saat belajar dewasa. Saat perilakunya masih bisa dibentuk. Insyallah.